• Takuboku ishikawa dan segenggam pasir

    Takuboku ishikawa dan segenggam pasir

    • Edizal (Ed)
    • Kayu Pasak
    • 2000
    • -
    Sinopsis

    Bahasa Jepang kupelajari di Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas Pendidikan Indonesia, di akhir abad yang lalu. Lantaran dulu kehadiran perguruan tinggi ini dimaksudkan untuk mencetak guru yang akan mengajar di sekolah, jam mata pelajaran yang berkaitan dengan bahasa Jepang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan Jurusan Bahasa Jepang di perguruan tinggi umum. Sebaliknya, jam mata pelajaran yang berhubungan dengan pengajaran, semisal dasar-dasar kependidikan, psikologi kependidikan, administrasi pendidikan, dan metodologi pengajaran, banyak menyita waktu dari tingkat awal sampai tingkat akhir. Ada mata pelajaran pengetahuan Jepang yang membuat kami mengenal keadaan Jepang secara umum serta beberapa nama sastrawan terkenal. Juga diberi tahu oleh dosen tentang adanya puisi genre tertentu yang khas Jepang, yaitu haiku dan tanka yang berungkapan singkat padat dalam satu tarikan napas, suatu estetika menyeluruh yang bernas. Tetapi, itu hanya sebatas kenal saja dan tidak diurai contoh nyata, apalagi keterangan yang rinci tentang seluk-beluk haiku atau tanka bersama penulisnya yang terkemuka. Sebab, pelajaran khusus tentang sastra Jepang seperti yang dihadirkan di perguruan tinggi umum dalam silabus kami tidak tercantum. Kendati ada keinginan mahasiswa untuk mengetahui lebih mendalam tentang sastra Jepang, ketiadaan bahan bacaan di perpustakaan jurusan dan perpustakaan kampus juga merupakan salah satu penyebab mengapa pengetahuan kami tentang sastra Jepang, termasuk haiku dan tanka, bisa dikatakan nol begitu saja. Di samping itu, keingintahuan mahasiswa tidak tersokong lantaran minusnya bahan bacaan dan belum hadirnya internet yang menyedia informasi yang melimpah tentang kejepangan bagai sekarang ini. Waktu bekerja di Pusat Penelitian Kejepangan, Universitas Nasional, tidak ada satu pun buku sastra Jepang di perpustakaan ini dan tentu saja buku begitu juga tidak pernah kutemukan di toko buku. Saat mempelajari metodologi pengajaran bahasa asing di Universitas Hiroshima, tak mampu kusembunyikan kagum atas banyaknya buku bacaan yang berkaitan dengan sastra Jepang yang ditulis dalam bahasa Inggris apalagi dalam bahasa Jepang di perpustakaan dan toko buku yang jelas terpampang. Kenyataan itu mengundang kesadaran betapa pengkajian kesusastraan Jepang di Indonesia jauh sekali ketinggalan jika dibandingkan dengan terutama negara maju. Selepas memamah bangku kuliah di Hiroshima bersama deretan kegagalan, nasib menempatkanku bekerja di Jepang sebagai buah ranum atas kegagalan itu, dan ketertarikanku pada tanka + haiku mulai menumpu. Di bawah bimbingan seorang guru haiku, sedikit demi sedikit kuselami haiku Masaoka Shiki yang susahnya setengah mati. Namun, pengalaman tersebut merupakan batu pijakan yang sangat berarti bagiku saat Kyoko Funada memperkenalkan tanka Takuboku Ishikawa (1886-1912) dan berharap bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mulailah sedikit demi sedikit kuterjemahkan tanka “Ichiaku no Suna” sejak 1993. Pada waktu itu kuketahui sudah hadirnya novel Jepang yang terkemuka seperti “Kokoro” (Natsume Soseki) yang diterjemahkan pada 1970, “Yukiguni” (Yasunari Kawabata) yang diterjemahkan pada 1972, yang kelihatannya diterjemahkan dari bahasa Inggris. Tetapi, aku tak kulihat novel ini terpajang di toko buku di Indonesia, jadi mungkin dicetak hanya sekali saja. Menurut hematku, di samping minat baca orang Indonesia yang relatif rendah, penerjemahan karya sastra dari bahasa kedua (bukan bahasa asli) ke dalam bahasa Indonesia sedikit-banyaknya menggerus fragmen keindahan nuansa kalimat serta kepingan kejepangan secara keseluruhan. Lagi pula, agaknya pengetahuan tentang budaya serta keadaan Jepang yang tidak memadai membuat penerjemah kurang mampu mengguna ungkapan yang tepat untuk mencerminkan suasana yang sesungguhnya sehingga hasilnya tidak begitu bisa diapresiasi secara prima oleh orang Indonesia. Karena kemampuan bahasa Jepang yang biasa-biasa saja, sering kali tidak bisa dengan cepat kucerna arti yang tersurat dan tersirat dari sebuah tanka saat mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Orang Jepang yang kukenal berbaik hati mengulurkan tangan mengatasi persoalan ini. Jadi, bermukim di Jepang merupakan hal yang sangat penting bagiku untuk menerjemahkannya karena banyaknya kenalan yang bisa ditanya langsung tentang makna suatu kata atau ungkapan. Tentu saja, keberadaan Kyoko Funada yang mahir berbahasa Indonesia memapar kerja sama yang sangat besar dalam mengecek keseluruhan terjemahan bahasa Indonesia tanka tersebut. Ada keyakinan dalam diriku bahwa untuk memahami lebih baik apa yang dibayangkan penulis, apa yang dirasakan, dan apa yang hendak disampaikan kepada pembaca, merunuti biografi atau jalan hidup yang bersangkutan adalah suatu keharusan. Kesadaran ini membawaku membalik-balik buku-buku yang berkaitan dengan jejak kaki Takuboku sejak kecil di Dusun Shibutami (Provinsi Iwate) sampai meninggal. Pengetahuan ini merupakan aset yang sangat berharga bagiku untuk bisa mengindonesiakan tankanya menjadi relatif lebih baik. Acungan jempol yang tinggi terarah pada Takuboku, yang bekerja sungguh-sungguh sampai larut malam di surat kabar dan hiijrah dari satu kota ke kota yang lain. Apa yang dinyatakan Takuboku dalam tanka di bawah, yang mengandung kepiluan, barangkali berupa simpati kepada dirinya sendiri, kepada mereka yang menderita lantaran angan yang tak kesampaian; pula mewakili perasaaan golongan bawah di Indonesia yang bekerja habis-habisan saban hari, tetapi nasib baik tak jua berpihak. ????? hatarakedo ?????? ???? ?????? hatarakedo nao waga kurashi raku ni narazari ??????? jitto te o miru kerja pun kerja tak jua hidupku menjadi bahagia jemari ditatapi lama Kekhasan tanka Takuboku adalah penulisan tiga baris dan ungkapan yang diguna bernuansa lisan sebagaimana yang terpampang di atas. Tema yang dibawakannya pun banyak mengandung kegetiran hidup, kerinduan akan kampung halaman, serta kasih sayang bundanya. Sebagai perbandingan dengan tanka biasa, mari kita petik salah satu contoh tanka terkemuka yang ditulis sebaris (diberi berjarak agar mudah dipahami) oleh Fujiwara no Toshiyuki (penyair Zaman Heian). ???????????????????????????????? Aki konu to, me niwa sayaka ni, mienu tomo, kaze no oto ni zo, odorokarenure musim gugur menjelang di pelupuk mata meremang tidaklah terang sang angin membisikkan kaget kumendengarkan Pernah kukunjungi Shibutami, saat diminta membawakan presentasi yang diselenggarakan oleh International Society of Takuboku Studies di sana. Tak pelak lagi, menyembul bahagia atas bisanya menengok langsung dengan mata kepala sendiri suasana kampung halaman Takuboku yang tenang, yang menjadi sumber inspirasi kuat dalam penulisan tankanya. Pastilah kampung yang banyak diberkahi oleh alam ini jauh lebih tenang waktu Zaman Meiji saat Takuboku menikmati masa-masa kecil yang indah di sana. Keberadaan dusun ini kuat menempa karakternya dalam merenungi alam dan masyarakat sebagaimana yang terpahat dalam tanka yang digubahnya. Mata hatinya tidak hanya menikmati keindahan aliran sungai tenang yang berair bening dan gunung yang menghijau lengang, tetapi juga melihat derita orang lain yang rumpang. Telinga hatinya tidak hanya menyimak nyanyian burung yang merdu dan semilir angin yang sepoi-sepoi, namun juga mendengar keluhan orang yang tertindas di atas bumi. Tanka berikut menggambarkan bagaimana cinta dan terima kasih Takuboku kepada kampung halaman yang melahirkan dan membesarkannya. Tanka ini betul-betul mencerminkan rasa kesepian yang bersifat universal, mewakili perasaan orang yang dilahirkan di desa dan tinggal jauh di rantau yang tidak pernah bisa aman dari kerinduan terhadap kampung halaman. Orang Indonesia yang tinggal jauh dari kampung pun bisa merasakan gema dan melodi panorama alami kampung halaman yang bersemayam dalam tanka ini. ????? ????? furusato no yama ni mukaite ?????? iu koto nashi ??????? ??????? furusato no yama wa arigataki ka na pandangi gunung kampung halaman tak ada yang bisa diucapkan terima kasih pada gunung kampung halaman Secara garis besar bisa ditarik dua hal yang mendatangkan kesulitan saat menerjemahkan tanka ke dalam bahasa Indonesia, yaitu masalah kebahasaan dan kehidupan masyarakat yang melatarbelakangi tanka tersebut. Banyak kata atau ungkapan yang tidak memiliki padanan yang betul-betul tepat saat dibahasaindonesiakan. Terkadang perlu waktu yang lama untuk merenungkan ungkapan yang baik bagaimana bahagianya orang Jepang menenggak sake, suatu kebiasaan yang tidak lazim dalam masyarakat Indonesia yang bermayoritas muslim yang jauh dari jangkauan minuman beralkohol. Puisi Indonesia tidak membubuhi tekanan pada kehadiran ungkapan musim dan ini berbeda dengan puisi Jepang, khususnya haiku, yang senantiasa menghubungkan perasaan dengan alam, kendati ada juga haiku tanpa aroma musim. Kehidupan dalam empat musim tidak ada dalam masyarakat Indonesia sehingga perlu menggunakan kata-kata yang lebih bisa menggambarkan suasana musim tersebut dengan jelas. Ketiadaan suasana musim dalam tanka juga merupakan sifat lain yang memisahkannya dengan haiku. Dalam tanka “Ichiaku no Suna” ditemukan kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, misalnya ?, yang terjemahannya terpaksa menggunakan kata bahasa Inggris “willow” dan ditambahkan kata “pohon” sebagai penjelas. Kata ??? dicoba cari nama burung yang mirip di Indonesia sedangkan kata ?? diadopsi begitu saja. Bagaimanapun juga aku merasa beruntung bisa bermukim lama di Jepang dan sedikit paham tentang musim, lingkungan hidup, dan sistem masyarakat, termasuk keterikatan jiwa orang Jepang terhadap alam. Penggalan hidup yang lama di Negeri Sakura menjadi aset yang sangat berharga bagiku untuk memperoleh gambaran yang cukup jelas apa yang hendak disampaikan dalam puisi Jepang. Takuboku sangat piawai merajut ungkapan yang indah dalam menghadirkan panorama kehidupan yang dilihatnya dan yang dirasakannya. Pada waktu yang sama juga menyedia ruang buat pembaca untuk berimajinasi. Lewat penglihatan dengan mata nurani akan bisa kita selami keindahan yang hidup dan kehidupan yang indah dalam tankanya yang merupakan hasil dari pengamatannya yang terus-menerus lagi mendalam tentang manusia dan masyarakat. Membaca tanka Takuboku, yang indah dan mengalir seperti air, bagai menikmati buku harian yang menyampaikan peristiwa-peristiwa yang memiliki arti khusus dalam kehidupan dan pemikirannya. Pada 1904 marsekal Stefan Makarov yang dikenal secara internasional berlayar menyelamatkan korban kapal perang Rusia yang ditenggelamkan Jepang, berhadapan dengan armada Jepang, mengakui kekuatan Jepang, dan hendak kembali ke pelabuhan. Malangnya, kapal yang dikomandoinya terkena ranjau yang ditebarkan Angkatan Laut Jepang, meledak hancur, dan mati sahid bersama 500 awak kapalnya. Sementara rakyat Jepang bersorak-sorai merayakan kabar gembira ini, Takuboku yang menghormati kehebatan sang marsekal sendirian mengubah sajak in memoriam untuknya. Sangat mencengangkan akan Takuboku yang masih berusia 18 tahun itu sudah memiliki wawasan universal dan kemanusiaan yang melintasi pagar batas negara. Begitu pun, tatkala Jepang mencaplok Korea pada 1910, dia menggubah sajak menunjukkan simpati terhadap rakyat Korea yang terluka akibat perbuatan pemerintahnya tersebut. Jelas, dia menempatkan dirinya sebagai manusia, bukan sebagai bangsa jepang, dalam menanggapi perselisihan antarbangsa. Dia adalah orang yang berani menjadi diri sendiri, memandang sesuatu secara adil, berpikiran demokratif dan tidak mengagung-agungkan negara sendiri yang berbuat kesalahan. Hal ini mengingatkanku pada sejarawan Inggris Arnold Toynbee yang juga menulis secara lugas penderitaan rakyat Turki yang tersudut di bawah konflik dengan bangsa Yunani yang didukung oleh Inggris sementara Turki sendiri dianggap biadab oleh Inggris. Seandainya Takuboku masih hidup semasa Perang Dunia Kedua, boleh jadi lewat puisi simpati yang antiperang akan dikritiknya pula pemerintahan militer Jepang yang menyerang dan menyengsarakan rakyat Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Pemikirannya tentang hidup juga perlu digali lebih dalam, tidak hanya lewat karya yang digubahnya, melainkan juga tulisannya yang banyak bermunculan dalam media massa. Semua tanka dan pemikirannya tersebut yang mengandung banyak pesan tersebut bisa disebut sebagai Kitab Suci Takuboku yang bisa dijadikan pegangan dari generasi ke generasi dalam mengapresiasi tanka, menelusuri jalan hidup, dan memandang kehidupan secara universal dan adil dengan melepaskan sekat-sekat nasionalisme picisan. Tentu saja, kitab suci itu tidak hanya dibaca oleh generasi muda Jepang, tetapi juga oleh generasi muda negara lain, termasuk Indonesia, untuk mencipta dunia yang damai sejahtera. Ini sangat penting dunia yang kian mengecil saat sekarang, lantaran teknologi komunikasi, dipenuhi oleh kebencian dan ketidakadilan yang kian menggelembung yang melahirkan sengsara bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Kuyakini bahwa ada tanka yang makna kedalaman dan kekuatannya hanya dipahami oleh penggubah sendiri (Takuboku sendiri) atau belum kita selami. Tetapi, sesuai dengan gerakan waktu boleh jadi peneliti generasi berikutnya yang akan mampu menggali lebih menukik menemukan kedalaman lain yang tersembunyi, menganalisa makna tersebut dari segi sastra, sosiologi, psikologi, filsafat, dan sebagainya. Berkat bantuan anggota Kokusai Takuboku Gakkai, buku yang berjudul “Takuboku Ishikawa dan Segenggam Pasir” yang berisi biografi singkat dan tankanya diterbitkan di Indonesia pada 2000 dan disumbangkan ke beberapa perpustakaan universitas di Indonesia. Dalam bagian tanka tersebut dicantumkan tulisan asli bahasa Jepang dan cara bacanya yang terdapat di bagian kiri halaman, sedangkan terjemahannya ditempatkan di bagian kanan halaman. Adanya cara baca kata bahasa Jepang tersebut sangat membantu bagi mereka yang meneliti tanka karena di samping bahasa Jepang ada cara baca kun’yomi dan on’yomi yang menyedia satu kata dengan dua atau lebih cara baca. Misalnya, dalam tanka “ichiaku no suna” ada kata “seikatsu” yang dibaca “kurashi” dan bukan “seikatsu”. Kuketahui ada beberapa mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang yang menggunakan buku ini sebagai referensi untuk menulis skripsi yang berkaitan dengan Takuboku. Aku sendiri juga memperkenalkan Takuboku dan tanka “Ichiaku no Suna” melalui internet kepada umum, khususnya kepada grup yang ada kaitannya dengan kejepangan. Kelihatannya orang yang menulis tanka dalam bahasa Indonesia pun ada di internet yang memberi bukti bahwa tanka yang merupakan puisi khas Jepang dengan alunan??? dan ??? mulai dinikmati oleh orang Indonesia. Dengan sendirinya, kita berharap mereka kelak juga melakukan penelitian tentang tanka Takuboku yang menjadi sentral dunia tanka di Jepang. Walau tinggal jauh dari lalu lalang peradaban yang gegap gempita di kota, Takuboku senantiasa memiliki semangat belajar yang sangat tinggi untuk mengukir masa depannya. Saat masih memamah bangku sekolah menengah, dia sudah aktif berkecimpung dalam dunia sastra dengan mendirikan grup tanka, menerbitkan majalah edaran, dan belakangan menjadi salah seorang anggota Shinshisha yang merupakan kelompok penyair terkemuka waktu itu. Bacaannya sangat luas mulai dari sastra klasik Jepang sampai sastra dunia seperti Tolstoi, Goethe, Shakespeare, dan Nietzsche, yang menunjukkan betapa hausnya dia akan pengetahuan baru yang berkelanjutan dan hal ini sangat memperkaya wawasan filosofi dan estetikanya dalam menapaki dunia sastra. Dia menjadi sosok nyata bagi generasi muda bahwa seorang anak dusun pun, jika berusaha sekuat tenaga, mengembangkan segala potensial kreativitas yang ada, dan berusaha pantang menyerah senantiasa, bisa berhasil dalam hidup dan bahkan namanya tercatat jelas dalam sejarah. Tentulah orang Indonesia yang membaca tanka “Ichiaku no Suna” dan perjalanan hidup Takuboku akan melambungkan bayang pada penyair Indonesia, Chairil Anwar, yang puisinya paling sering dibaca dan dibahas serta diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, termasuk bahasa Jepang. Kedua sastrawan, yang doyan melahap karya sastra dunia dalam semangat pembaharuan, tidak mudah puas segera dengan apa yang ditulisnya, menggubah puisi yang padat dalam kesingkatannya, singkat dalam kepadatannya, sarat makna, penuh imajinasi, kaya variasi, dan tajam menggigit sekali. Kegelisahan sastra yang sama-sama dimiliki oleh kedua sastrawan ini menjadi pembangkit kreativitas dalam melahirkan karya yang bercahaya dan merepresentasikan modernitas kepuisian. Ini sejalan dengan ucapan Nietzsche, “You must have chaos within you to give birth to a dancing star.” Kedalaman renungan keduanya melahirkan puisi simile bernafaskan metafora dan personifikasi, yang lembut meneduh hati dan garang meledakkan emosi, yang punya kekuatan yang besar menggerakkan jiwa, dan mampu memaksa pembacanya tersenyum, puas, tersedu, terlambung, terhempas, atau terkelupas. Kesamaan yang lain antara keduanya adalah sama-sama menikmati kehidupan bohemian sebagai sastrawan yang unik, dan sama-sama mati muda karena tuberkulosis (Takuboku wafat pada usia 26 tahun, Chairil Anwar wafat pada usia 27 tahun). Sesudah waktu berjalan hampir 20 tahun sejak tanka ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kini kumerasa ungkapan yang diguna dalam terjemahan bahasa Indonesia tersebut perlu diubah menjadi lebih indah dan lebih penuh vitalitas. Misalnya, tanka ???? ??????? ????? ??????? ?????? ke dalam bahasa Indonesia dituangkan menjadi empat larik dengan jumlah suku kata yang berbeda dengan tanka asli Jepang. Sebab, pada waktu menerjemahkannya dianggap alirannya tidak kaku, kekuatannya tidak memudar, dan lebih bisa dinikmati oleh orang Indonesia. bagai diburu dengan batu bersedih tinggalkan kampung halaman tiada waktu untuk berlupa Belakangan ini kumerasa akan lebih baik berbaris 3 sebanyak jumlah baris tanka asli Takuboku dan diusahakan 31 suku kata, dengan pilihan kata dan irama yang lebih mengena atau berterima, yang memiliki efek dan nuansa yang lebih kuat bagi hati orang Indonesia, sembari tetap mempertimbangkan fungsi??? dan???, misalnya: bagai diburu diacungi batu-batu tinggalkan dusunku hari-hari pilu tak pernah berlalu Waktu sudah habis untuk bisa memperbaiki keseluruhan terjemahan “Ichiaku no Suna”, jadi berharap muncul generasi muda Indonesia yang mampu menerjemahkannya dengan ungkapan yang lebih indah. Tentu saja, kehadiran terjemahan tanka Takuboku yang lain juga dinantikan.

    Kata Kunci
    Tersedia di Perpustakaan Kampus:
    • Cengkareng
    Silahkan Login untuk dapat Melakukan Peminjaman Online
Kode Buku : 212461
Kode Klasifikasi : 952
Judul Buku : Takuboku ishikawa dan segenggam pasir
Edisi : -
Penulis : Edizal (Ed)
Penerbit : Kayu Pasak
Bahasa : China
Tahun : 2000
ISBN : -
Tajuk Subjek : Mandarin,Sejarah
Deskripsi : 344 hal, 21 cm
Eksemplar : 1
Stok : 1
Petugas : Arum Johan Purnamasari


Bahasa Jepang kupelajari di Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas Pendidikan Indonesia, di akhir abad yang lalu. Lantaran dulu kehadiran perguruan tinggi ini dimaksudkan untuk mencetak guru yang akan mengajar di sekolah, jam mata pelajaran yang berkaitan dengan bahasa Jepang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan Jurusan Bahasa Jepang di perguruan tinggi umum.

Sebaliknya, jam mata pelajaran yang berhubungan dengan pengajaran, semisal dasar-dasar kependidikan, psikologi kependidikan, administrasi pendidikan, dan metodologi pengajaran, banyak menyita waktu dari tingkat awal sampai tingkat akhir.

Ada mata pelajaran pengetahuan Jepang yang membuat kami mengenal keadaan Jepang secara umum serta beberapa nama sastrawan terkenal. Juga diberi tahu oleh dosen tentang adanya puisi genre tertentu yang khas Jepang, yaitu haiku dan tanka yang berungkapan singkat padat dalam satu tarikan napas, suatu estetika menyeluruh yang bernas.

Tetapi, itu hanya sebatas kenal saja dan tidak diurai contoh nyata, apalagi keterangan yang rinci tentang seluk-beluk haiku atau tanka bersama penulisnya yang terkemuka. Sebab, pelajaran khusus tentang sastra Jepang seperti yang dihadirkan di perguruan tinggi umum dalam silabus kami tidak tercantum.

Kendati ada keinginan mahasiswa untuk mengetahui lebih mendalam tentang sastra Jepang, ketiadaan bahan bacaan di perpustakaan jurusan dan perpustakaan kampus juga merupakan salah satu penyebab mengapa pengetahuan kami tentang sastra Jepang, termasuk haiku dan tanka, bisa dikatakan nol begitu saja.

Di samping itu, keingintahuan mahasiswa tidak tersokong lantaran minusnya bahan bacaan dan belum hadirnya internet yang menyedia informasi yang melimpah tentang kejepangan bagai sekarang ini.

Waktu bekerja di Pusat Penelitian Kejepangan, Universitas Nasional, tidak ada satu pun buku sastra Jepang di perpustakaan ini dan tentu saja buku begitu juga tidak pernah kutemukan di toko buku.

Saat mempelajari metodologi pengajaran bahasa asing di Universitas Hiroshima, tak mampu kusembunyikan kagum atas banyaknya buku bacaan yang berkaitan dengan sastra Jepang yang ditulis dalam bahasa Inggris apalagi dalam bahasa Jepang di perpustakaan dan toko buku yang jelas terpampang. Kenyataan itu mengundang kesadaran betapa pengkajian kesusastraan Jepang di Indonesia jauh sekali ketinggalan jika dibandingkan dengan terutama negara maju.

Selepas memamah bangku kuliah di Hiroshima bersama deretan kegagalan, nasib menempatkanku bekerja di Jepang sebagai buah ranum atas kegagalan itu, dan ketertarikanku pada tanka + haiku mulai menumpu. Di bawah bimbingan seorang guru haiku, sedikit demi sedikit kuselami haiku Masaoka Shiki yang susahnya setengah mati.

Namun, pengalaman tersebut merupakan batu pijakan yang sangat berarti bagiku saat Kyoko Funada memperkenalkan tanka Takuboku Ishikawa (1886-1912) dan berharap bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mulailah sedikit demi sedikit kuterjemahkan tanka “Ichiaku no Suna” sejak 1993.

Pada waktu itu kuketahui sudah hadirnya novel Jepang yang terkemuka seperti “Kokoro” (Natsume Soseki) yang diterjemahkan pada 1970, “Yukiguni” (Yasunari Kawabata) yang diterjemahkan pada 1972, yang kelihatannya diterjemahkan dari bahasa Inggris. Tetapi, aku tak kulihat novel ini terpajang di toko buku di Indonesia, jadi mungkin dicetak hanya sekali saja.

Menurut hematku, di samping minat baca orang Indonesia yang relatif rendah, penerjemahan karya sastra dari bahasa kedua (bukan bahasa asli) ke dalam bahasa Indonesia sedikit-banyaknya menggerus fragmen keindahan nuansa kalimat serta kepingan kejepangan secara keseluruhan.

Lagi pula, agaknya pengetahuan tentang budaya serta keadaan Jepang yang tidak memadai membuat penerjemah kurang mampu mengguna ungkapan yang tepat untuk mencerminkan suasana yang sesungguhnya sehingga hasilnya tidak begitu bisa diapresiasi secara prima oleh orang Indonesia.

Karena kemampuan bahasa Jepang yang biasa-biasa saja, sering kali tidak bisa dengan cepat kucerna arti yang tersurat dan tersirat dari sebuah tanka saat mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Orang Jepang yang kukenal berbaik hati mengulurkan tangan mengatasi persoalan ini.

Jadi, bermukim di Jepang merupakan hal yang sangat penting bagiku untuk menerjemahkannya karena banyaknya kenalan yang bisa ditanya langsung tentang makna suatu kata atau ungkapan. Tentu saja, keberadaan Kyoko Funada yang mahir berbahasa Indonesia memapar kerja sama yang sangat besar dalam mengecek keseluruhan terjemahan bahasa Indonesia tanka tersebut.

Ada keyakinan dalam diriku bahwa untuk memahami lebih baik apa yang dibayangkan penulis, apa yang dirasakan, dan apa yang hendak disampaikan kepada pembaca, merunuti biografi atau jalan hidup yang bersangkutan adalah suatu keharusan.

Kesadaran ini membawaku membalik-balik buku-buku yang berkaitan dengan jejak kaki Takuboku sejak kecil di Dusun Shibutami (Provinsi Iwate) sampai meninggal. Pengetahuan ini merupakan aset yang sangat berharga bagiku untuk bisa mengindonesiakan tankanya menjadi relatif lebih baik.

Acungan jempol yang tinggi terarah pada Takuboku, yang bekerja sungguh-sungguh sampai larut malam di surat kabar dan hiijrah dari satu kota ke kota yang lain. Apa yang dinyatakan Takuboku dalam tanka di bawah, yang mengandung kepiluan, barangkali berupa simpati kepada dirinya sendiri, kepada mereka yang menderita lantaran angan yang tak kesampaian; pula mewakili perasaaan golongan bawah di Indonesia yang bekerja habis-habisan saban hari, tetapi nasib baik tak jua berpihak.

????? hatarakedo
?????? ???? ?????? hatarakedo nao waga kurashi raku ni narazari
??????? jitto te o miru
kerja pun kerja
tak jua hidupku menjadi bahagia
jemari ditatapi lama

Kekhasan tanka Takuboku adalah penulisan tiga baris dan ungkapan yang diguna bernuansa lisan sebagaimana yang terpampang di atas. Tema yang dibawakannya pun banyak mengandung kegetiran hidup, kerinduan akan kampung halaman, serta kasih sayang bundanya.

Sebagai perbandingan dengan tanka biasa, mari kita petik salah satu contoh tanka terkemuka yang ditulis sebaris (diberi berjarak agar mudah dipahami) oleh Fujiwara no Toshiyuki (penyair Zaman Heian).

????????????????????????????????
Aki konu to, me niwa sayaka ni, mienu tomo, kaze no oto ni zo, odorokarenure

musim gugur menjelang
di pelupuk mata meremang
tidaklah terang
sang angin membisikkan
kaget kumendengarkan

Pernah kukunjungi Shibutami, saat diminta membawakan presentasi yang diselenggarakan oleh International Society of Takuboku Studies di sana. Tak pelak lagi, menyembul bahagia atas bisanya menengok langsung dengan mata kepala sendiri suasana kampung halaman Takuboku yang tenang, yang menjadi sumber inspirasi kuat dalam penulisan tankanya. Pastilah kampung yang banyak diberkahi oleh alam ini jauh lebih tenang waktu Zaman Meiji saat Takuboku menikmati masa-masa kecil yang indah di sana.

Keberadaan dusun ini kuat menempa karakternya dalam merenungi alam dan masyarakat sebagaimana yang terpahat dalam tanka yang digubahnya. Mata hatinya tidak hanya menikmati keindahan aliran sungai tenang yang berair bening dan gunung yang menghijau lengang, tetapi juga melihat derita orang lain yang rumpang. Telinga hatinya tidak hanya menyimak nyanyian burung yang merdu dan semilir angin yang sepoi-sepoi, namun juga mendengar keluhan orang yang tertindas di atas bumi.

Tanka berikut menggambarkan bagaimana cinta dan terima kasih Takuboku kepada kampung halaman yang melahirkan dan membesarkannya. Tanka ini betul-betul mencerminkan rasa kesepian yang bersifat universal, mewakili perasaan orang yang dilahirkan di desa dan tinggal jauh di rantau yang tidak pernah bisa aman dari kerinduan terhadap kampung halaman. Orang Indonesia yang tinggal jauh dari kampung pun bisa merasakan gema dan melodi panorama alami kampung halaman yang bersemayam dalam tanka ini.

????? ????? furusato no yama ni mukaite
?????? iu koto nashi
??????? ??????? furusato no yama wa arigataki ka na
pandangi gunung kampung halaman
tak ada yang bisa diucapkan
terima kasih pada gunung kampung halaman

Secara garis besar bisa ditarik dua hal yang mendatangkan kesulitan saat menerjemahkan tanka ke dalam bahasa Indonesia, yaitu masalah kebahasaan dan kehidupan masyarakat yang melatarbelakangi tanka tersebut. Banyak kata atau ungkapan yang tidak memiliki padanan yang betul-betul tepat saat dibahasaindonesiakan.

Terkadang perlu waktu yang lama untuk merenungkan ungkapan yang baik bagaimana bahagianya orang Jepang menenggak sake, suatu kebiasaan yang tidak lazim dalam masyarakat Indonesia yang bermayoritas muslim yang jauh dari jangkauan minuman beralkohol.

Puisi Indonesia tidak membubuhi tekanan pada kehadiran ungkapan musim dan ini berbeda dengan puisi Jepang, khususnya haiku, yang senantiasa menghubungkan perasaan dengan alam, kendati ada juga haiku tanpa aroma musim. Kehidupan dalam empat musim tidak ada dalam masyarakat Indonesia sehingga perlu menggunakan kata-kata yang lebih bisa menggambarkan suasana musim tersebut dengan jelas. Ketiadaan suasana musim dalam tanka juga merupakan sifat lain yang memisahkannya dengan haiku.

Dalam tanka “Ichiaku no Suna” ditemukan kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, misalnya ?, yang terjemahannya terpaksa menggunakan kata bahasa Inggris “willow” dan ditambahkan kata “pohon” sebagai penjelas. Kata ??? dicoba cari nama burung yang mirip di Indonesia sedangkan kata ?? diadopsi begitu saja.

Bagaimanapun juga aku merasa beruntung bisa bermukim lama di Jepang dan sedikit paham tentang musim, lingkungan hidup, dan sistem masyarakat, termasuk keterikatan jiwa orang Jepang terhadap alam. Penggalan hidup yang lama di Negeri Sakura menjadi aset yang sangat berharga bagiku untuk memperoleh gambaran yang cukup jelas apa yang hendak disampaikan dalam puisi Jepang.

Takuboku sangat piawai merajut ungkapan yang indah dalam menghadirkan panorama kehidupan yang dilihatnya dan yang dirasakannya. Pada waktu yang sama juga menyedia ruang buat pembaca untuk berimajinasi. Lewat penglihatan dengan mata nurani akan bisa kita selami keindahan yang hidup dan kehidupan yang indah dalam tankanya yang merupakan hasil dari pengamatannya yang terus-menerus lagi mendalam tentang manusia dan masyarakat.

Membaca tanka Takuboku, yang indah dan mengalir seperti air, bagai menikmati buku harian yang menyampaikan peristiwa-peristiwa yang memiliki arti khusus dalam kehidupan dan pemikirannya.

Pada 1904 marsekal Stefan Makarov yang dikenal secara internasional berlayar menyelamatkan korban kapal perang Rusia yang ditenggelamkan Jepang, berhadapan dengan armada Jepang, mengakui kekuatan Jepang, dan hendak kembali ke pelabuhan. Malangnya, kapal yang dikomandoinya terkena ranjau yang ditebarkan Angkatan Laut Jepang, meledak hancur, dan mati sahid bersama 500 awak kapalnya.

Sementara rakyat Jepang bersorak-sorai merayakan kabar gembira ini, Takuboku yang menghormati kehebatan sang marsekal sendirian mengubah sajak in memoriam untuknya. Sangat mencengangkan akan Takuboku yang masih berusia 18 tahun itu sudah memiliki wawasan universal dan kemanusiaan yang melintasi pagar batas negara.

Begitu pun, tatkala Jepang mencaplok Korea pada 1910, dia menggubah sajak menunjukkan simpati terhadap rakyat Korea yang terluka akibat perbuatan pemerintahnya tersebut. Jelas, dia menempatkan dirinya sebagai manusia, bukan sebagai bangsa jepang, dalam menanggapi perselisihan antarbangsa. Dia adalah orang yang berani menjadi diri sendiri, memandang sesuatu secara adil, berpikiran demokratif dan tidak mengagung-agungkan negara sendiri yang berbuat kesalahan.

Hal ini mengingatkanku pada sejarawan Inggris Arnold Toynbee yang juga menulis secara lugas penderitaan rakyat Turki yang tersudut di bawah konflik dengan bangsa Yunani yang didukung oleh Inggris sementara Turki sendiri dianggap biadab oleh Inggris.

Seandainya Takuboku masih hidup semasa Perang Dunia Kedua, boleh jadi lewat puisi simpati yang antiperang akan dikritiknya pula pemerintahan militer Jepang yang menyerang dan menyengsarakan rakyat Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Pemikirannya tentang hidup juga perlu digali lebih dalam, tidak hanya lewat karya yang digubahnya, melainkan juga tulisannya yang banyak bermunculan dalam media massa. Semua tanka dan pemikirannya tersebut yang mengandung banyak pesan tersebut bisa disebut sebagai Kitab Suci Takuboku yang bisa dijadikan pegangan dari generasi ke generasi dalam mengapresiasi tanka, menelusuri jalan hidup, dan memandang kehidupan secara universal dan adil dengan melepaskan sekat-sekat nasionalisme picisan.

Tentu saja, kitab suci itu tidak hanya dibaca oleh generasi muda Jepang, tetapi juga oleh generasi muda negara lain, termasuk Indonesia, untuk mencipta dunia yang damai sejahtera. Ini sangat penting dunia yang kian mengecil saat sekarang, lantaran teknologi komunikasi, dipenuhi oleh kebencian dan ketidakadilan yang kian menggelembung yang melahirkan sengsara bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Kuyakini bahwa ada tanka yang makna kedalaman dan kekuatannya hanya dipahami oleh penggubah sendiri (Takuboku sendiri) atau belum kita selami. Tetapi, sesuai dengan gerakan waktu boleh jadi peneliti generasi berikutnya yang akan mampu menggali lebih menukik menemukan kedalaman lain yang tersembunyi, menganalisa makna tersebut dari segi sastra, sosiologi, psikologi, filsafat, dan sebagainya.

Berkat bantuan anggota Kokusai Takuboku Gakkai, buku yang berjudul “Takuboku Ishikawa dan Segenggam Pasir” yang berisi biografi singkat dan tankanya diterbitkan di Indonesia pada 2000 dan disumbangkan ke beberapa perpustakaan universitas di Indonesia.

Dalam bagian tanka tersebut dicantumkan tulisan asli bahasa Jepang dan cara bacanya yang terdapat di bagian kiri halaman, sedangkan terjemahannya ditempatkan di bagian kanan halaman. Adanya cara baca kata bahasa Jepang tersebut sangat membantu bagi mereka yang meneliti tanka karena di samping bahasa Jepang ada cara baca kun’yomi dan on’yomi yang menyedia satu kata dengan dua atau lebih cara baca. Misalnya, dalam tanka “ichiaku no suna” ada kata “seikatsu” yang dibaca “kurashi” dan bukan “seikatsu”.

Kuketahui ada beberapa mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang yang menggunakan buku ini sebagai referensi untuk menulis skripsi yang berkaitan dengan Takuboku. Aku sendiri juga memperkenalkan Takuboku dan tanka “Ichiaku no Suna” melalui internet kepada umum, khususnya kepada grup yang ada kaitannya dengan kejepangan.

Kelihatannya orang yang menulis tanka dalam bahasa Indonesia pun ada di internet yang memberi bukti bahwa tanka yang merupakan puisi khas Jepang dengan alunan??? dan ??? mulai dinikmati oleh orang Indonesia. Dengan sendirinya, kita berharap mereka kelak juga melakukan penelitian tentang tanka Takuboku yang menjadi sentral dunia tanka di Jepang.

Walau tinggal jauh dari lalu lalang peradaban yang gegap gempita di kota, Takuboku senantiasa memiliki semangat belajar yang sangat tinggi untuk mengukir masa depannya. Saat masih memamah bangku sekolah menengah, dia sudah aktif berkecimpung dalam dunia sastra dengan mendirikan grup tanka, menerbitkan majalah edaran, dan belakangan menjadi salah seorang anggota Shinshisha yang merupakan kelompok penyair terkemuka waktu itu.

Bacaannya sangat luas mulai dari sastra klasik Jepang sampai sastra dunia seperti Tolstoi, Goethe, Shakespeare, dan Nietzsche, yang menunjukkan betapa hausnya dia akan pengetahuan baru yang berkelanjutan dan hal ini sangat memperkaya wawasan filosofi dan estetikanya dalam menapaki dunia sastra.

Dia menjadi sosok nyata bagi generasi muda bahwa seorang anak dusun pun, jika berusaha sekuat tenaga, mengembangkan segala potensial kreativitas yang ada, dan berusaha pantang menyerah senantiasa, bisa berhasil dalam hidup dan bahkan namanya tercatat jelas dalam sejarah.

Tentulah orang Indonesia yang membaca tanka “Ichiaku no Suna” dan perjalanan hidup Takuboku akan melambungkan bayang pada penyair Indonesia, Chairil Anwar, yang puisinya paling sering dibaca dan dibahas serta diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, termasuk bahasa Jepang.

Kedua sastrawan, yang doyan melahap karya sastra dunia dalam semangat pembaharuan, tidak mudah puas segera dengan apa yang ditulisnya, menggubah puisi yang padat dalam kesingkatannya, singkat dalam kepadatannya, sarat makna, penuh imajinasi, kaya variasi, dan tajam menggigit sekali.

Kegelisahan sastra yang sama-sama dimiliki oleh kedua sastrawan ini menjadi pembangkit kreativitas dalam melahirkan karya yang bercahaya dan merepresentasikan modernitas kepuisian. Ini sejalan dengan ucapan Nietzsche, “You must have chaos within you to give birth to a dancing star.”

Kedalaman renungan keduanya melahirkan puisi simile bernafaskan metafora dan personifikasi, yang lembut meneduh hati dan garang meledakkan emosi, yang punya kekuatan yang besar menggerakkan jiwa, dan mampu memaksa pembacanya tersenyum, puas, tersedu, terlambung, terhempas, atau terkelupas.

Kesamaan yang lain antara keduanya adalah sama-sama menikmati kehidupan bohemian sebagai sastrawan yang unik, dan sama-sama mati muda karena tuberkulosis (Takuboku wafat pada usia 26 tahun, Chairil Anwar wafat pada usia 27 tahun).

Sesudah waktu berjalan hampir 20 tahun sejak tanka ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kini kumerasa ungkapan yang diguna dalam terjemahan bahasa Indonesia tersebut perlu diubah menjadi lebih indah dan lebih penuh vitalitas. Misalnya, tanka ???? ??????? ????? ??????? ?????? ke dalam bahasa Indonesia dituangkan menjadi empat larik dengan jumlah suku kata yang berbeda dengan tanka asli Jepang. Sebab, pada waktu menerjemahkannya dianggap alirannya tidak kaku, kekuatannya tidak memudar, dan lebih bisa dinikmati oleh orang Indonesia.

bagai diburu dengan batu
bersedih tinggalkan kampung halaman
tiada waktu
untuk berlupa

Belakangan ini kumerasa akan lebih baik berbaris 3 sebanyak jumlah baris tanka asli Takuboku dan diusahakan 31 suku kata, dengan pilihan kata dan irama yang lebih mengena atau berterima, yang memiliki efek dan nuansa yang lebih kuat bagi hati orang Indonesia, sembari tetap mempertimbangkan fungsi??? dan???, misalnya:

bagai diburu diacungi batu-batu
tinggalkan dusunku
hari-hari pilu tak pernah berlalu

Waktu sudah habis untuk bisa memperbaiki keseluruhan terjemahan “Ichiaku no Suna”, jadi berharap muncul generasi muda Indonesia yang mampu menerjemahkannya dengan ungkapan yang lebih indah. Tentu saja, kehadiran terjemahan tanka Takuboku yang lain juga dinantikan.

Terkait Subjek Buku yang sama

TENTANG PERPUSTAKAAN


PERPUSTAKAAN UBSI


Perpustakaan Universitas Bina Sarana Informatika merupakan layanan yang diberikan kepada civitas akademik khususnya mahasiswa untuk memperoleh informasi seperti buku, majalah, jurnal, prosiding, dll.

INFORMASI


Alamat : Jl. Kramat Raya No.98, Senen, Jakarta Pusat

Telp : +6285777854809

Email : perpustakaan@bsi.ac.id

IG : @perpustakaan_ubsi

Jam Operasional
Senin - Jumat : 08.00 s/d 20.00 WIB
Isitirahat Siang : 12.00 s/d 13.00 WIB
Istirahat Sore : 18.00 s/d 19.00 WIB

LINK TERKAIT


LPPM UBSI

Repository UBSI

E-Journal UBSI

E-Learning UBSI

Kemahasiswaan UBSI

Perpustakaan Nasional

e-Resources

Copyright © 2024 Perpustakaan Universitas Bina Sarana Informatika